Pada tulisan kali ini penulis mengambil objek tempat
penulis sendiri menjadi guru tetap. Sekolah yang terletak di sebuah Pulau Kecil
arah utara Kabupaten Biak Numfor. Namanya adalah SMP Negeri 2 Padaido. Beberapa
siswa di sekolah ini berasal dari pulau lain sekitarnya. Sekolah ini termasuk
sekolah yang memiliki guru yang lumayan banyak di bandingkan sekolah lainnya
yang ada di Pulau-Pulau kecil Biak Numfor. Hal ini kemudian menjadikan penulis
mengambilnya sebagai sampel. Disamping bahwa memang penulis berada dilingkungan
sekolah dan mengetahui kondisi tersebut.
Para Guru dan Tenaga Pendidik SMP Negeri 2 Padaido
Seperti diketahui bersama wabah
penyakit ini sangat mengancam keselamatan manusia. Baik Pemerintah Pusat maupun Daerah
menginstruksikan Warga untuk tidak berkumpul, menghindari keramaian, jaga
jarak, keluar rumah pakai masker, cuci tangan pake sabun atau handsanitizer.
Dll. Kondisi di atas kemudian melahirkan istilah WFH (Work From Home), Ibadah di rumah saja, belajar di rumah saja.
Khusus untuk belajar di rumah saja ada beberapa terobosan yang baik. Misalkan
menyimak acara TVRI pada jam tertentu, atau belajar melalui aplikasi smartphone
dengan menggunakan kuota internet. Penulis sangat mengapresiasi terobosan ini
mengingat saat ini kita telah sampai pada era industry 4.0 yang menuntut sumber daya
manusia setidaknya mampu mengaplikasikan perangkat elektronik.
Siswa/siswi SMP Negeri 2 Padaido
Nah yang menjadi masalah bagi siswa-siswi di pelosok
adalah tidak adanya akses internet. Kalaupun ada, tidak semua orang tua memiliki Smart Phone. Walaupun mereka punya smart
phone besar kemungkinan mereka tak mampu membeli kuota apalagi aktivitas luar
rumah semakin berkurang. Sedangkan mata pencaharian mereka adalah nelayan dan
petani kopra. Pasar Bosnik menjadi tempat yang begitu penting. Nah ketika
himbauan menghindari keramaian berlangsung, otomatis penghasilan mereka
berkurang. Belum lagi bahwa mereka membutuhkan bahan bakar. Dengan demikian
dapat dipastikan bahwa belajar melalui smart phone atau komputer dengan akses
internet sangat tidak memungkinkan. Kemudian belajar melalui TVRI, yah sebagian
warga memang telah memiliki pesawat televisi. Namun kendalanya adalah tidak
semua orang tua memiliki TV. Bahkan listrikpun tak ada saat siang hari, listrik
hanya mampu menerangi dari jam 6 malam ke jam 6 pagi. Itupun kalau bahan
bakarnya tidak habis. Jika tetap dipaksakan maka mereka justeru akan nonton bareng,
kumpul-kumpul karena tak semua memiliki TV.
Menyikapi tanggapan Mas menteri
pendidikan yang kaget setelah hasil evaluasi belajar online tentang masih
adanya keluhan tidak ada sinyal dan listrik (Detik.com). Yah maafkan jika
penulis tak merasa kaget sama sekali. Kami tak pernah melakukannya karena
memang sangat tak memungkinkan. Mengenai kesenjangan dalam dunia pendidikan itu
jelas sekali Mas Mentri. Jika tidak ada kesempatan ke-Papua menengok semacam
Sekolah penulis, yah mungkin bisa di sekitaran Pulau Jawa. Penulis mengira di sana
juga masih banyak sekolah yang tidak nampak selayak yang kita lihat di perkotaan. Bahkan
jika berkenan dan ada waktu ke-Papua (Biak) saya bersedia menemani dan menunjukkan
bahwa inilah kondisi sekolah di pelosok. Kondisinya sangat jauh dari kata
ideal. Yah semoga ini bisa menjadi masukan dan kita bisa melihat pendidikan
Indonesia yang lebih baik kedepannya. Bukti dari kesenjangan pendidikan yang
sangat terasa bisa dilihat dari fasilitas sekolah, kantor, sanitasi, lab, dll.
Mas menteri berkunjungllah ke pelosok, kalau pelu ngecamp semalam dua malam,
nanti penulis temani untuk melihat dari dekat kondisi pendidikan negeri ini di
daerah 3T. Saya menjamin Mas Menteri akan menangis. Dan sekembalinya akan
melakukan kebijakan luar biasa jika sayang pada generasi negeri ini. Kondisi
ini tak boleh ditutupi apalagi dianggap aib karena ini masa depan bangsa kita.
Guru beserta siswa/siswi SMP Negeri 2 Padaido
Riant Harianto Rosalez
Patina,
05 Mei 2020
Salam
Sehat Sukses Selalu
Pendidkan
Bermutu, Indonesia Maju